27 April 2009

Menaklukkan sang Maut - True Story


Pukul 07.00, sebuah sepeda motor seperti merangkak dari Laweyan di barat daya kota Solo. Begitu perlahan sehingga beberapa kendaraan melewatinya dengan membunyikan klakson. Sisa hujan semalam masih tampak pada bekas genangan air di sisi-sisi jalan. Apakah si pengendara enggan meninggalkan pagi yang basah, ataukah motor tuanya yang tidak bisa lagi diajak ngebut? Entahlah. “Jam berapa ya nanti sampai Jogja?” gumam Wahyudi (40), si pengendara, seorang diri. Motor itu bermerk Honda, bikinan tahun 1980-an, jadi masih bisa diajak ngebut 50-60 km/jam sebenarnya. Tetapi dengan kecepatan seperti itu sudah serasa terbang bagi Wahyudi. Dia hanya berani memacu 20-30 km/jam. “Setelah makan pagi di Gondang Klaten, saya coba lari 40. Tetapi rasanya sudah seperti pembalap, he-he-he,” ujarnya terkekeh di ruang tamu Divisi Marketing Majalah Bahana. Wahyudi butuh waktu 3 jam untuk bisa sampai ke Yogyakarta. “Mukjizat, saya sampai dengan selamat ke sini. Doakan juga bisa kembali dengan selamat,” cetusnya. Suara Wahyudi sengau, tak jelas intonasinya. Mirip orang menyeracau.

DITABRAK BUS

Setiap detik dalam kehidupan orang percaya adalah mukjizat. Demikian Wahyudi menghayati kehidupannya sekarang. Bisa bangun pagi bertemu istri dan anaknya adalah mukjizat. Dapat mengedarkan Majalah Bahana dan buku-buku rohani ke seantero kota Solo juga mukjizat. Masih bisa bernafas, apalagi. “Saya mendapat mukjizat luar biasa dari Tuhan. Ia sudah memberi saya banyak sekali.” Suara Wahyudi parau. Ia menengadah, menatap langit-langit kantor. Tahun 1987 hingga 1989, Wahyudi bekerja sebagai tenaga administrasi di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Saat koran Yogya Pos terbit di kota yang sama, Wahyudi pindah sebagai kepala staf composing di sana. Tetapi “nafas” Yogya Pos kelewat pendek. Wahyudi ber-tahan sampai tahun 1991 sebelum koran ini benar-benar mati. Tahun 1992, alumnus SMEAN II Yogyakarta itu mengadu untung ke ibukota. “Saya ke Jakarta coba kerja di (majalah) Tempo. Tetapi baru dua bulan saya dapat kecelakaan,” terang anggota Full Gospel Bussines Men’s Felowship International Solo, Chapter Manahan itu.

Sebuah bus PPD menabrak motor yang dikendarai Wahyudi hingga remuk, pada 18 Agustus 1992. Tangan kiri patah, tempurung lutut kiri remuk. Wahyudi mengalami gegar otak berat yang menyebabkan dia koma. “Dokter bilang saya tidak ada harapan lagi. Gegar otak saya sangat parah, sehingga orangtua menyediakan peti mati dan bus untuk membawa mayat saya ke Yogya,” kata Wahyudi. Dalam keadaan koma Wahyudi dibawa keluarganya. Tetapi Tuhan berkeinginan lain. Setelah koma tiga bulan, Wahyudi yang kini tinggal di Gang Markisah I No.13 D, Karangasem RT 01/VIII, Laweyan, Solo itu berangsur sembuh. “Ini benar-benar mukjizat Tuhan,” kata Wahyudi.

DEPRESI BERAT

Begitu “bangkit” dari kematian, persoalan Wahyudi belum selesai. Ia teramat depresi dengan cacat permanen yang diperolehnya. Tempurung lutut yang remuk membuat kaki kirinya lebih pendek tujuh centimeter. Tangan kiri lumpuh dan tidak bisa digunakan. Suaranya menjadi sengau seperti baru terkena stroke berat. “Tangan kiri tidak berfungsi sama sekali. Kaki bisa, tapi untuk jongkok tidak bisa. Saya depresi berat. Saya pikir Tuhan terlalu berat mencobai saya. Tetapi berkat doa banyak orang, saya bisa keluar dari depresi itu,” kata Wahyudi sambil mengutip Mazmur 118:18 – 19. Mukjizat paling besar bagi Wahyudi adalah dirinya masih diizinkan hidup oleh Tuhan.Di Pleret Bantul Yogyakarta, di rumah orangtuanya, Wahyudi mengisi hari-hari dengan menulis. Rasa galau, namun juga keinginan untuk hidup sebagaimana orang normal lainnya ia tuangkan dalam tulisan-tulisan itu. “Habis mau bikin apa lagi. Dalam keadaan seperti itu saya hanya bisa menulis,” kata Wahyudi. Beberapa tulisan Wahyudi dimuat oleh majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang yang terbit di Yogyakarta. “Honor pertama saya Rp15 ribu. Senangnya bukan main,” kenangnya.

TIADA YANG MUSTAHIL

Mustahil untuk manusia, tidak bagi Allah. Dalam kondisi tubuhnya yang serba terbatas, sebenarnya mustahil bagi Wahyudi mendapatkan jodoh. Tetapi jalan Tuhan susah ditebak. Seorang gadis membaca tulisannya. Mereka berkorespondensi. Suatu saat sang gadis minta ketemu. Gayung bersambut. Tiga bulan pacaran, mereka sepakat menikah. Maka Dra. Febe Tri Wuryan Taruni, dosen Bahasa Indonesia dan Kepala Administrasi ABA STIE Pignatelli Surakarta resmi menjadi istri Wahyudi pada 11 Februari 1998. Mereka diberkati di GBIS Nusukan, Solo. Perihal motor yang kini didesain khusus dengan dua roda di belakangnya? “Saya dikasih Megawati waktu dia masih jadi presiden. Saya senang sekali karena dengan motor ini saya bisa ke mana-mana mengantarkan Majalah Bahana dan renungan harian untuk pelanggan,” kata Wahyudi yang salah satu pelanggan-nya adalah wakil walikota Solo. Wahyudi menjadi Star Agent, program penjualan dengan bonus memikat, untuk menjual majalah Bahana, Renungan Malam, dan buku-buku rohani.Setelah empat tahun merindukan kehadiran seorang anak, tahun 1992 lahir Theofillus Dian Gegana. Saat melahirkan, Wahyudi memangku istrinya. “Saya melihat sendiri proses kelahirannya. Begitu kepalanya keluar, saya deg-deg-an. Saya bersyukur sekali. Puji Tuhan, satu lagi mukjizat bagi kami,” kata jemaat GKJ Kerten, pepathan Ka-rangasem, Solo itu yang selalu berdoa puasa setiap Selasa dan Kamis itu.

Melihat Wahyudi berjalan, beringsut langkah demi langkah, barangkali kita segera dihinggapi rasa belas-kasihan. Ia seperti menyeret bagian tubuh sebelah kirinya. Tetapi Wahyudi juga seperti menempelak kita. Dalam keadaannya yang cacat, ia bekerja keras untuk menghidupi istri dan anaknya. Sejak tahun 1995, Wahyudi terus menu-lis untuk majalah Djaka Lodang dan mengirim beragam buku rohani, majalah rohani, renungan harian ke berbagai persekutuan di Solo. “Saya senang, walaupun dalam keadaan begini, saya bisa bertemu banyak orang,” kata Wahyudi.

BELAJAR DARI WAHYUDI

Hari menjelang siang. Wahyudi pamit. Berdiri di samping motor roda tiganya, ia menginjak starter beberapa kali. Sesungguhnya bukan menginjak. Berat badan ditumpukan pada kaki kanan, lalu “ditekan”. Tiga jam lagi ia baru sampai ke Solo, hanya dengan sebelah tangan memegang setir. Mungkin kita berpikir Wahyudi pantas bersyukur atas setiap detik dalam hidupnya. Bukankah ia telah diberi Tuhan berbagai mukjizat?

Tetapi ketidakpekaan dan kekeraskepalaan kita jualah yang membuat Allah mengirimkan seseorang seperti dia, lengkap dengan rasa tak berdaya, putus asa, minder, kepingin cepat-cepat lenyap dari bumi, tetapi juga kegigihan, pantang menyerah, dan rasa syukur atas apa yang ia dapatkan hari ini. Wahyudi telah keluar dari peristiwa tak terhindarkan, maka kita patut belajar padanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

aBhet Copyright © 2008 Black Brown Pop Template by Ipiet's Blogger Template