Doa hanya bisa efektif jika datangnya dari hati.
Tidak ada formula khusus untuk berdoa.
Hanya Ketulusan kita dan keyakinan kita..
terhadap Kekuatan Ilahi dan Berkah Surga.
Biarkan saya memberitahukan sebuah rahasia kecil,
Rahasia dari tanggapan terhadap doa-doa kita terletak
pada cara kita menjalani hidup. Kita harus menjalani jalur kasih,
jika kita ingin melihat kasih. Kita harus menjalani jalan surga,
jika kita ingin mendapat pengalaman surga. Yang serupa saling menarik
dalam jangka panjang.
Berdoa dengan nyata, Berdoa dengan segala ketulusan
dan berdoa dalam tindakan. Doa jenis itu akan menyentuh surga,
lalu kita akan mendapat tanggapan setiap kali kita berdoa untuk
sesuatu yang mulia dan baik.
Saat kita berdoa seperti itu, itu berarti kita persembahkan
ketaatan kita kepada perintah Surga. Surga akan datang kepada kita.
Kita bahkan tidak perlu berdoa. Hal-hal yang baik akan datang
kepada kita, karena yang serupa selalu saling menarik.
Anda paham bagaimana cara berdoa sekarang ?
Read More..
27 April 2009
Cinta Kalau & Cinta Walaupun
Aku cinta orang tua ku, Kalau..
mereka baik2 saja, sehat2 senantiasa, tidak rewel dan menyenangkan.
Aku cinta pasangan ku, Kalau..
dia selalu baik, mengerti aku, perhatian, sayang, dsb nya.
Aku cinta teman-temanku, Kalau..
mereka selalu hadir pada saat2 dibutuhkan, mereka dapat diandalkan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan sangat sering menemukan “cinta kalau”, tetapi bagi para pencinta, selalu ada “cinta walaupun”. Apakah cinta itu ? Apakah cinta itu bersyarat ? Apakah cinta membutuhkan alasan ? Mungkinkah kita bisa membawa “cinta walaupun” dalam kehidupan kita sehari-hari ?
Jika kita melakukan “cinta kalau”, apakah itu pantas disebut cinta ? atau mungkin lebih tepat disebut sebagai “bisnis”.
Jika di dunia ini, semuanya hanya ada “cinta kalau”, maka dapat dipastikan dunia ini menuju kehancuran. Kita hanya bisa tumbuh & berkembang dalam “cinta walaupun”, seandainya Orang Tua yang membesarkan kita dengan versi “Cinta Kalau”, sungguh kita tidak akan tumbuh menjadi anak yang sehat & bahagia. Begitu juga dengan rumah tangga, pasangan suami-istri, tak akan mungkin bisa hidup bahagia dengan “cinta kalau”.
Dunia ini hanya akan menjadi tempat yang indah, bila ada yang masih bersedia mencintai.. walaupun.. Read More..
mereka baik2 saja, sehat2 senantiasa, tidak rewel dan menyenangkan.
Aku cinta pasangan ku, Kalau..
dia selalu baik, mengerti aku, perhatian, sayang, dsb nya.
Aku cinta teman-temanku, Kalau..
mereka selalu hadir pada saat2 dibutuhkan, mereka dapat diandalkan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan sangat sering menemukan “cinta kalau”, tetapi bagi para pencinta, selalu ada “cinta walaupun”. Apakah cinta itu ? Apakah cinta itu bersyarat ? Apakah cinta membutuhkan alasan ? Mungkinkah kita bisa membawa “cinta walaupun” dalam kehidupan kita sehari-hari ?
Jika kita melakukan “cinta kalau”, apakah itu pantas disebut cinta ? atau mungkin lebih tepat disebut sebagai “bisnis”.
Jika di dunia ini, semuanya hanya ada “cinta kalau”, maka dapat dipastikan dunia ini menuju kehancuran. Kita hanya bisa tumbuh & berkembang dalam “cinta walaupun”, seandainya Orang Tua yang membesarkan kita dengan versi “Cinta Kalau”, sungguh kita tidak akan tumbuh menjadi anak yang sehat & bahagia. Begitu juga dengan rumah tangga, pasangan suami-istri, tak akan mungkin bisa hidup bahagia dengan “cinta kalau”.
Dunia ini hanya akan menjadi tempat yang indah, bila ada yang masih bersedia mencintai.. walaupun.. Read More..
Ketidak Bahagiaan
Saya dapat merasakan sedikit.. mungkin sedikit saja.. Ketidak bahagiaan yang sedang kamu alami. Itu semua karena kamu tidak belajar dari pengalaman hidupmu, sehingga kamu harus mengulang pelajaran ini. Aku pun mengalaminya, dan aku tahu betapa tidak menyenangkan hal ini. Hanya satu masukan dari saya, Apapun yang harus terjadi, tidak dapat kamu hindari. Cepat atau lambat, hal-hal tersebut akan datang, dan datang dengan kondisi yang sama.
Maka itu terimalah, Apapun yang terjadi dalam hidup mu. Hidup ini tidak bisa selalu dalam sisi menyenangkan. Pelajari dan ambil hikmahnya. Pesan apa yang hendak disampaikan Alam kepadamu. Belajar mendengarkan pesan ini, susah-susah gampang. Bisa juga dibilang sangat sulit, bila kita belum bersedia untuk membuka hati kita.
Jika kita mengalami situasi sulit, situasi yang tidak menyenangkan. Apa yang dapat kita lakukan ? Aku tidak tahu jawaban pasti. Tapi mungkin saja bagi kamu, menyimpan sebuah harapan.. harapan akan adanya Terang setelah Gelap bisa memicu untuk tetap semangat dalam menjalankan hidup ini. Habis Gelap Terbitlah Terang. Itulah kata-kata yang pernah dikumandangkan Ibu Kita, Ibu Kartini.
Tidak Ada Terang, tanpa Gelap. Tidak Ada Kesenangan, tanpa Penderitaan. Terang adalah Gelap itu sendiri. Gelap itu sendiri adalah Terang. Terang tidak berbeda dengan Gelap. Demikian Gelap tidak berbeda dengan Terang. Kesenangan adalah penderitaan itu sendiri. Penderitaan itu adalah Kesenangan. Mereka berdua tidak berbeda.
Di dunia relatif ini, kita melihat segala sesuatu dari sisi Dualitas. Padahal Dualitas adalah ilusi. Bagi Orang yang punya kekayaan 100 miliar dollar, bisa jadi menganggap orang yang punya duit 1 milliar rupiah adalah bukan orang kaya. Bagi seorang pembantu, bisa mempunyai duit 1 milliar rupiah adalah sangat kaya. Bukankah 1 milliar rupiah itu adalah nilai yang sama ? Tetapi mengapa bisa jadi ada perbedaan ?
Bagi mereka yang punya duit 100 milliar dollar. Tiba-tibaa, karena sesuatu hal, duitnya hanya tersisa 1 Milliar Rupiah. Dan mungkin saja, orang yang punya duit 100 milliar dollar, menjadi stress berat. Tetapi di sisi lain, bagi seseorang yang tidak punya 1 milliar, tiba-tiba mempunyai duit 1 milliar, mungkin dia akan kegirangan. Dan di sisi lain yang lain, bagi mereka yang tidak ambil pusing, duit 100 milliar dollar = 1 milliar rupiah = 0 rupiah. Sehingga punya duit 100 milliar, punya duit 1 miliar, duit 0 rupiah, dia tetap tidak terganggu.
Lalu, kamu termasuk yang mana ? Read More..
Maka itu terimalah, Apapun yang terjadi dalam hidup mu. Hidup ini tidak bisa selalu dalam sisi menyenangkan. Pelajari dan ambil hikmahnya. Pesan apa yang hendak disampaikan Alam kepadamu. Belajar mendengarkan pesan ini, susah-susah gampang. Bisa juga dibilang sangat sulit, bila kita belum bersedia untuk membuka hati kita.
Jika kita mengalami situasi sulit, situasi yang tidak menyenangkan. Apa yang dapat kita lakukan ? Aku tidak tahu jawaban pasti. Tapi mungkin saja bagi kamu, menyimpan sebuah harapan.. harapan akan adanya Terang setelah Gelap bisa memicu untuk tetap semangat dalam menjalankan hidup ini. Habis Gelap Terbitlah Terang. Itulah kata-kata yang pernah dikumandangkan Ibu Kita, Ibu Kartini.
Tidak Ada Terang, tanpa Gelap. Tidak Ada Kesenangan, tanpa Penderitaan. Terang adalah Gelap itu sendiri. Gelap itu sendiri adalah Terang. Terang tidak berbeda dengan Gelap. Demikian Gelap tidak berbeda dengan Terang. Kesenangan adalah penderitaan itu sendiri. Penderitaan itu adalah Kesenangan. Mereka berdua tidak berbeda.
Di dunia relatif ini, kita melihat segala sesuatu dari sisi Dualitas. Padahal Dualitas adalah ilusi. Bagi Orang yang punya kekayaan 100 miliar dollar, bisa jadi menganggap orang yang punya duit 1 milliar rupiah adalah bukan orang kaya. Bagi seorang pembantu, bisa mempunyai duit 1 milliar rupiah adalah sangat kaya. Bukankah 1 milliar rupiah itu adalah nilai yang sama ? Tetapi mengapa bisa jadi ada perbedaan ?
Bagi mereka yang punya duit 100 milliar dollar. Tiba-tibaa, karena sesuatu hal, duitnya hanya tersisa 1 Milliar Rupiah. Dan mungkin saja, orang yang punya duit 100 milliar dollar, menjadi stress berat. Tetapi di sisi lain, bagi seseorang yang tidak punya 1 milliar, tiba-tiba mempunyai duit 1 milliar, mungkin dia akan kegirangan. Dan di sisi lain yang lain, bagi mereka yang tidak ambil pusing, duit 100 milliar dollar = 1 milliar rupiah = 0 rupiah. Sehingga punya duit 100 milliar, punya duit 1 miliar, duit 0 rupiah, dia tetap tidak terganggu.
Lalu, kamu termasuk yang mana ? Read More..
Malu & Takut yang sesungguhnya
Kenyataannya dalam sehari-hari, kita malu & takut.. kebanyakan bukan karena melakukan perbuatan yang tidak baik. Tetapi kebanyakan malu & takut, karena pendapat & penilaian orang lain. Kebanyakan dari kita lebih rela melakukan perbuatan memalukan tapi diacung jempol oleh teman-temannya, daripada perbuatan baik tetapi dianggap aneh oleh teman-temannya.
Kita perlu belajar mendengarkan suara hati kita terlebih dahulu, daripada suara-suara yang di luar, penilaian teman-teman, keluarga & masyarakat. Karena mayoritas manusia tidak hidup mendengarkan suara hati-nya, mayoritas manusia mengikuti apa yang dianggap benar oleh mayoritas itu sendiri. Jadi berhati-hatilah, tidak semua suara & pendapat mayoritas sesuai, tepat dan baik buat kita.
Seseorang yang bijak akan merasa malu & takut, bila dia melakukan perbuatan yang tercela, yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Dia tidak akan bersedia melakukan hal yang tidak pantas, walaupun dianggap pantas & benar di lingkungannya. Read More..
Kita perlu belajar mendengarkan suara hati kita terlebih dahulu, daripada suara-suara yang di luar, penilaian teman-teman, keluarga & masyarakat. Karena mayoritas manusia tidak hidup mendengarkan suara hati-nya, mayoritas manusia mengikuti apa yang dianggap benar oleh mayoritas itu sendiri. Jadi berhati-hatilah, tidak semua suara & pendapat mayoritas sesuai, tepat dan baik buat kita.
Seseorang yang bijak akan merasa malu & takut, bila dia melakukan perbuatan yang tercela, yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Dia tidak akan bersedia melakukan hal yang tidak pantas, walaupun dianggap pantas & benar di lingkungannya. Read More..
Ketika Marah, Berdoa dan Ingat Dia
Rasulullah Saw bersabda, ”Allah telah mewahyukan kepada salah seorang Nabi di antara nabi-nabi-Nya: “Wahai keturunan Adam! Berdzikirlah kepada-Ku pada saat engkau marah niscaya Aku akan mengingatmu di saat Aku marah dan Aku tidak akan membinasakanmu di antara orang-orang yang Aku binasakan” (Mizan al-Hikmah 3 : 424)
Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang diakibatkan dari kemarahan, ada baiknya Anda segera berdo’a untuk mengatasi gejolak emosi yang sering berbalik mengendalikan diri kita.
Di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para alim mazhab Ahlul Bait banyak sekali do’a-do’a yang berfungsi untuk mengatasi kemarahan. Saya hanya mengutip dua buah do’a yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
Al-Hasan ibn Fadhlin al-Thabarsiy di dalam Kitab yang disusunnya, Makarim al-Akhlaq meriwayatkan sebuah hadits dari Imam al-Shadiq as, bahwa beliau telah berkata, ‘Ucapkanlah do’a ini ketika (Anda sedang dilanda amarah) :
“Allahumma adzHib ‘annii ghaizha qalbi
waghfirlii dzanbii, wa ajirnii min madhaalaatil fitan.
As-alukabi ridhaaka, wa a’udzubika min sakhathika.
As-aluka jannatuka wa a’udzubika min naarika.
As-aluka al-khayr kullahu wa a’udzubika min syarri kullihi.
Allahumma tsabitnii ‘alal hudaa wash-shawaab,
waj ‘alnii raadhiyan mardhiyyan ghairo dhallan
wa laa mudhillan. Shallii ‘alan Nabiyi wa aalihi.”
Artinya : “Ya Allah, hilangkan dariku hati yang suka marah dan ampunilah dosa-dosaku dan jauhkanlah aku dari fitnah yang menyesatkan. Aku memohon kepada-Mu ridha-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari murka-Mu, dan aku memohon kepada-Mu akan surga-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka-Mu. Aku memohon kepada-Mu akan segala kebaikan dan aku berlindung kepada-Mu dari segala keburukan dan kejahatan. Ya Allah, teguhkanlah aku dalam petunjuk dan kebenaran. Dan jadikanlah aku orang yang ridha akan (qadla dan qadar-Mu) dan diridhai (oleh-Mu), bukan orang yang sesat dan disesatkan. Kesejahteraan kiranya atas Nabi (Muhammad) dan keluarganya”
Atau do’a yang singkat :
“Allahummaghfir dzanbii wa adzHib ghaizha qalbi
wa ajirnii minasy syaithaanir rajiim,
wa laa hawla wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim”
(Mustadrak al-Wasail 12 : 15)
Artinya : “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan hilangkan dariku hati yang suka marah dan jauhkanlah aku dari syaithan yang dirajam. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali karena pertolongan dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung”
Read More..
Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang diakibatkan dari kemarahan, ada baiknya Anda segera berdo’a untuk mengatasi gejolak emosi yang sering berbalik mengendalikan diri kita.
Di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para alim mazhab Ahlul Bait banyak sekali do’a-do’a yang berfungsi untuk mengatasi kemarahan. Saya hanya mengutip dua buah do’a yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
Al-Hasan ibn Fadhlin al-Thabarsiy di dalam Kitab yang disusunnya, Makarim al-Akhlaq meriwayatkan sebuah hadits dari Imam al-Shadiq as, bahwa beliau telah berkata, ‘Ucapkanlah do’a ini ketika (Anda sedang dilanda amarah) :
“Allahumma adzHib ‘annii ghaizha qalbi
waghfirlii dzanbii, wa ajirnii min madhaalaatil fitan.
As-alukabi ridhaaka, wa a’udzubika min sakhathika.
As-aluka jannatuka wa a’udzubika min naarika.
As-aluka al-khayr kullahu wa a’udzubika min syarri kullihi.
Allahumma tsabitnii ‘alal hudaa wash-shawaab,
waj ‘alnii raadhiyan mardhiyyan ghairo dhallan
wa laa mudhillan. Shallii ‘alan Nabiyi wa aalihi.”
Artinya : “Ya Allah, hilangkan dariku hati yang suka marah dan ampunilah dosa-dosaku dan jauhkanlah aku dari fitnah yang menyesatkan. Aku memohon kepada-Mu ridha-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari murka-Mu, dan aku memohon kepada-Mu akan surga-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka-Mu. Aku memohon kepada-Mu akan segala kebaikan dan aku berlindung kepada-Mu dari segala keburukan dan kejahatan. Ya Allah, teguhkanlah aku dalam petunjuk dan kebenaran. Dan jadikanlah aku orang yang ridha akan (qadla dan qadar-Mu) dan diridhai (oleh-Mu), bukan orang yang sesat dan disesatkan. Kesejahteraan kiranya atas Nabi (Muhammad) dan keluarganya”
Atau do’a yang singkat :
“Allahummaghfir dzanbii wa adzHib ghaizha qalbi
wa ajirnii minasy syaithaanir rajiim,
wa laa hawla wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim”
(Mustadrak al-Wasail 12 : 15)
Artinya : “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan hilangkan dariku hati yang suka marah dan jauhkanlah aku dari syaithan yang dirajam. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali karena pertolongan dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung”
Menaklukkan sang Maut - True Story
Pukul 07.00, sebuah sepeda motor seperti merangkak dari Laweyan di barat daya kota Solo. Begitu perlahan sehingga beberapa kendaraan melewatinya dengan membunyikan klakson. Sisa hujan semalam masih tampak pada bekas genangan air di sisi-sisi jalan. Apakah si pengendara enggan meninggalkan pagi yang basah, ataukah motor tuanya yang tidak bisa lagi diajak ngebut? Entahlah. “Jam berapa ya nanti sampai Jogja?” gumam Wahyudi (40), si pengendara, seorang diri. Motor itu bermerk Honda, bikinan tahun 1980-an, jadi masih bisa diajak ngebut 50-60 km/jam sebenarnya. Tetapi dengan kecepatan seperti itu sudah serasa terbang bagi Wahyudi. Dia hanya berani memacu 20-30 km/jam. “Setelah makan pagi di Gondang Klaten, saya coba lari 40. Tetapi rasanya sudah seperti pembalap, he-he-he,” ujarnya terkekeh di ruang tamu Divisi Marketing Majalah Bahana. Wahyudi butuh waktu 3 jam untuk bisa sampai ke Yogyakarta. “Mukjizat, saya sampai dengan selamat ke sini. Doakan juga bisa kembali dengan selamat,” cetusnya. Suara Wahyudi sengau, tak jelas intonasinya. Mirip orang menyeracau.
DITABRAK BUS
Setiap detik dalam kehidupan orang percaya adalah mukjizat. Demikian Wahyudi menghayati kehidupannya sekarang. Bisa bangun pagi bertemu istri dan anaknya adalah mukjizat. Dapat mengedarkan Majalah Bahana dan buku-buku rohani ke seantero kota Solo juga mukjizat. Masih bisa bernafas, apalagi. “Saya mendapat mukjizat luar biasa dari Tuhan. Ia sudah memberi saya banyak sekali.” Suara Wahyudi parau. Ia menengadah, menatap langit-langit kantor. Tahun 1987 hingga 1989, Wahyudi bekerja sebagai tenaga administrasi di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Saat koran Yogya Pos terbit di kota yang sama, Wahyudi pindah sebagai kepala staf composing di sana. Tetapi “nafas” Yogya Pos kelewat pendek. Wahyudi ber-tahan sampai tahun 1991 sebelum koran ini benar-benar mati. Tahun 1992, alumnus SMEAN II Yogyakarta itu mengadu untung ke ibukota. “Saya ke Jakarta coba kerja di (majalah) Tempo. Tetapi baru dua bulan saya dapat kecelakaan,” terang anggota Full Gospel Bussines Men’s Felowship International Solo, Chapter Manahan itu.
Sebuah bus PPD menabrak motor yang dikendarai Wahyudi hingga remuk, pada 18 Agustus 1992. Tangan kiri patah, tempurung lutut kiri remuk. Wahyudi mengalami gegar otak berat yang menyebabkan dia koma. “Dokter bilang saya tidak ada harapan lagi. Gegar otak saya sangat parah, sehingga orangtua menyediakan peti mati dan bus untuk membawa mayat saya ke Yogya,” kata Wahyudi. Dalam keadaan koma Wahyudi dibawa keluarganya. Tetapi Tuhan berkeinginan lain. Setelah koma tiga bulan, Wahyudi yang kini tinggal di Gang Markisah I No.13 D, Karangasem RT 01/VIII, Laweyan, Solo itu berangsur sembuh. “Ini benar-benar mukjizat Tuhan,” kata Wahyudi.
DEPRESI BERAT
Begitu “bangkit” dari kematian, persoalan Wahyudi belum selesai. Ia teramat depresi dengan cacat permanen yang diperolehnya. Tempurung lutut yang remuk membuat kaki kirinya lebih pendek tujuh centimeter. Tangan kiri lumpuh dan tidak bisa digunakan. Suaranya menjadi sengau seperti baru terkena stroke berat. “Tangan kiri tidak berfungsi sama sekali. Kaki bisa, tapi untuk jongkok tidak bisa. Saya depresi berat. Saya pikir Tuhan terlalu berat mencobai saya. Tetapi berkat doa banyak orang, saya bisa keluar dari depresi itu,” kata Wahyudi sambil mengutip Mazmur 118:18 – 19. Mukjizat paling besar bagi Wahyudi adalah dirinya masih diizinkan hidup oleh Tuhan.Di Pleret Bantul Yogyakarta, di rumah orangtuanya, Wahyudi mengisi hari-hari dengan menulis. Rasa galau, namun juga keinginan untuk hidup sebagaimana orang normal lainnya ia tuangkan dalam tulisan-tulisan itu. “Habis mau bikin apa lagi. Dalam keadaan seperti itu saya hanya bisa menulis,” kata Wahyudi. Beberapa tulisan Wahyudi dimuat oleh majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang yang terbit di Yogyakarta. “Honor pertama saya Rp15 ribu. Senangnya bukan main,” kenangnya.
TIADA YANG MUSTAHIL
Mustahil untuk manusia, tidak bagi Allah. Dalam kondisi tubuhnya yang serba terbatas, sebenarnya mustahil bagi Wahyudi mendapatkan jodoh. Tetapi jalan Tuhan susah ditebak. Seorang gadis membaca tulisannya. Mereka berkorespondensi. Suatu saat sang gadis minta ketemu. Gayung bersambut. Tiga bulan pacaran, mereka sepakat menikah. Maka Dra. Febe Tri Wuryan Taruni, dosen Bahasa Indonesia dan Kepala Administrasi ABA STIE Pignatelli Surakarta resmi menjadi istri Wahyudi pada 11 Februari 1998. Mereka diberkati di GBIS Nusukan, Solo. Perihal motor yang kini didesain khusus dengan dua roda di belakangnya? “Saya dikasih Megawati waktu dia masih jadi presiden. Saya senang sekali karena dengan motor ini saya bisa ke mana-mana mengantarkan Majalah Bahana dan renungan harian untuk pelanggan,” kata Wahyudi yang salah satu pelanggan-nya adalah wakil walikota Solo. Wahyudi menjadi Star Agent, program penjualan dengan bonus memikat, untuk menjual majalah Bahana, Renungan Malam, dan buku-buku rohani.Setelah empat tahun merindukan kehadiran seorang anak, tahun 1992 lahir Theofillus Dian Gegana. Saat melahirkan, Wahyudi memangku istrinya. “Saya melihat sendiri proses kelahirannya. Begitu kepalanya keluar, saya deg-deg-an. Saya bersyukur sekali. Puji Tuhan, satu lagi mukjizat bagi kami,” kata jemaat GKJ Kerten, pepathan Ka-rangasem, Solo itu yang selalu berdoa puasa setiap Selasa dan Kamis itu.
Melihat Wahyudi berjalan, beringsut langkah demi langkah, barangkali kita segera dihinggapi rasa belas-kasihan. Ia seperti menyeret bagian tubuh sebelah kirinya. Tetapi Wahyudi juga seperti menempelak kita. Dalam keadaannya yang cacat, ia bekerja keras untuk menghidupi istri dan anaknya. Sejak tahun 1995, Wahyudi terus menu-lis untuk majalah Djaka Lodang dan mengirim beragam buku rohani, majalah rohani, renungan harian ke berbagai persekutuan di Solo. “Saya senang, walaupun dalam keadaan begini, saya bisa bertemu banyak orang,” kata Wahyudi.
BELAJAR DARI WAHYUDI
Hari menjelang siang. Wahyudi pamit. Berdiri di samping motor roda tiganya, ia menginjak starter beberapa kali. Sesungguhnya bukan menginjak. Berat badan ditumpukan pada kaki kanan, lalu “ditekan”. Tiga jam lagi ia baru sampai ke Solo, hanya dengan sebelah tangan memegang setir. Mungkin kita berpikir Wahyudi pantas bersyukur atas setiap detik dalam hidupnya. Bukankah ia telah diberi Tuhan berbagai mukjizat?
Tetapi ketidakpekaan dan kekeraskepalaan kita jualah yang membuat Allah mengirimkan seseorang seperti dia, lengkap dengan rasa tak berdaya, putus asa, minder, kepingin cepat-cepat lenyap dari bumi, tetapi juga kegigihan, pantang menyerah, dan rasa syukur atas apa yang ia dapatkan hari ini. Wahyudi telah keluar dari peristiwa tak terhindarkan, maka kita patut belajar padanya. Read More..
DITABRAK BUS
Setiap detik dalam kehidupan orang percaya adalah mukjizat. Demikian Wahyudi menghayati kehidupannya sekarang. Bisa bangun pagi bertemu istri dan anaknya adalah mukjizat. Dapat mengedarkan Majalah Bahana dan buku-buku rohani ke seantero kota Solo juga mukjizat. Masih bisa bernafas, apalagi. “Saya mendapat mukjizat luar biasa dari Tuhan. Ia sudah memberi saya banyak sekali.” Suara Wahyudi parau. Ia menengadah, menatap langit-langit kantor. Tahun 1987 hingga 1989, Wahyudi bekerja sebagai tenaga administrasi di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Saat koran Yogya Pos terbit di kota yang sama, Wahyudi pindah sebagai kepala staf composing di sana. Tetapi “nafas” Yogya Pos kelewat pendek. Wahyudi ber-tahan sampai tahun 1991 sebelum koran ini benar-benar mati. Tahun 1992, alumnus SMEAN II Yogyakarta itu mengadu untung ke ibukota. “Saya ke Jakarta coba kerja di (majalah) Tempo. Tetapi baru dua bulan saya dapat kecelakaan,” terang anggota Full Gospel Bussines Men’s Felowship International Solo, Chapter Manahan itu.
Sebuah bus PPD menabrak motor yang dikendarai Wahyudi hingga remuk, pada 18 Agustus 1992. Tangan kiri patah, tempurung lutut kiri remuk. Wahyudi mengalami gegar otak berat yang menyebabkan dia koma. “Dokter bilang saya tidak ada harapan lagi. Gegar otak saya sangat parah, sehingga orangtua menyediakan peti mati dan bus untuk membawa mayat saya ke Yogya,” kata Wahyudi. Dalam keadaan koma Wahyudi dibawa keluarganya. Tetapi Tuhan berkeinginan lain. Setelah koma tiga bulan, Wahyudi yang kini tinggal di Gang Markisah I No.13 D, Karangasem RT 01/VIII, Laweyan, Solo itu berangsur sembuh. “Ini benar-benar mukjizat Tuhan,” kata Wahyudi.
DEPRESI BERAT
Begitu “bangkit” dari kematian, persoalan Wahyudi belum selesai. Ia teramat depresi dengan cacat permanen yang diperolehnya. Tempurung lutut yang remuk membuat kaki kirinya lebih pendek tujuh centimeter. Tangan kiri lumpuh dan tidak bisa digunakan. Suaranya menjadi sengau seperti baru terkena stroke berat. “Tangan kiri tidak berfungsi sama sekali. Kaki bisa, tapi untuk jongkok tidak bisa. Saya depresi berat. Saya pikir Tuhan terlalu berat mencobai saya. Tetapi berkat doa banyak orang, saya bisa keluar dari depresi itu,” kata Wahyudi sambil mengutip Mazmur 118:18 – 19. Mukjizat paling besar bagi Wahyudi adalah dirinya masih diizinkan hidup oleh Tuhan.Di Pleret Bantul Yogyakarta, di rumah orangtuanya, Wahyudi mengisi hari-hari dengan menulis. Rasa galau, namun juga keinginan untuk hidup sebagaimana orang normal lainnya ia tuangkan dalam tulisan-tulisan itu. “Habis mau bikin apa lagi. Dalam keadaan seperti itu saya hanya bisa menulis,” kata Wahyudi. Beberapa tulisan Wahyudi dimuat oleh majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang yang terbit di Yogyakarta. “Honor pertama saya Rp15 ribu. Senangnya bukan main,” kenangnya.
TIADA YANG MUSTAHIL
Mustahil untuk manusia, tidak bagi Allah. Dalam kondisi tubuhnya yang serba terbatas, sebenarnya mustahil bagi Wahyudi mendapatkan jodoh. Tetapi jalan Tuhan susah ditebak. Seorang gadis membaca tulisannya. Mereka berkorespondensi. Suatu saat sang gadis minta ketemu. Gayung bersambut. Tiga bulan pacaran, mereka sepakat menikah. Maka Dra. Febe Tri Wuryan Taruni, dosen Bahasa Indonesia dan Kepala Administrasi ABA STIE Pignatelli Surakarta resmi menjadi istri Wahyudi pada 11 Februari 1998. Mereka diberkati di GBIS Nusukan, Solo. Perihal motor yang kini didesain khusus dengan dua roda di belakangnya? “Saya dikasih Megawati waktu dia masih jadi presiden. Saya senang sekali karena dengan motor ini saya bisa ke mana-mana mengantarkan Majalah Bahana dan renungan harian untuk pelanggan,” kata Wahyudi yang salah satu pelanggan-nya adalah wakil walikota Solo. Wahyudi menjadi Star Agent, program penjualan dengan bonus memikat, untuk menjual majalah Bahana, Renungan Malam, dan buku-buku rohani.Setelah empat tahun merindukan kehadiran seorang anak, tahun 1992 lahir Theofillus Dian Gegana. Saat melahirkan, Wahyudi memangku istrinya. “Saya melihat sendiri proses kelahirannya. Begitu kepalanya keluar, saya deg-deg-an. Saya bersyukur sekali. Puji Tuhan, satu lagi mukjizat bagi kami,” kata jemaat GKJ Kerten, pepathan Ka-rangasem, Solo itu yang selalu berdoa puasa setiap Selasa dan Kamis itu.
Melihat Wahyudi berjalan, beringsut langkah demi langkah, barangkali kita segera dihinggapi rasa belas-kasihan. Ia seperti menyeret bagian tubuh sebelah kirinya. Tetapi Wahyudi juga seperti menempelak kita. Dalam keadaannya yang cacat, ia bekerja keras untuk menghidupi istri dan anaknya. Sejak tahun 1995, Wahyudi terus menu-lis untuk majalah Djaka Lodang dan mengirim beragam buku rohani, majalah rohani, renungan harian ke berbagai persekutuan di Solo. “Saya senang, walaupun dalam keadaan begini, saya bisa bertemu banyak orang,” kata Wahyudi.
BELAJAR DARI WAHYUDI
Hari menjelang siang. Wahyudi pamit. Berdiri di samping motor roda tiganya, ia menginjak starter beberapa kali. Sesungguhnya bukan menginjak. Berat badan ditumpukan pada kaki kanan, lalu “ditekan”. Tiga jam lagi ia baru sampai ke Solo, hanya dengan sebelah tangan memegang setir. Mungkin kita berpikir Wahyudi pantas bersyukur atas setiap detik dalam hidupnya. Bukankah ia telah diberi Tuhan berbagai mukjizat?
Tetapi ketidakpekaan dan kekeraskepalaan kita jualah yang membuat Allah mengirimkan seseorang seperti dia, lengkap dengan rasa tak berdaya, putus asa, minder, kepingin cepat-cepat lenyap dari bumi, tetapi juga kegigihan, pantang menyerah, dan rasa syukur atas apa yang ia dapatkan hari ini. Wahyudi telah keluar dari peristiwa tak terhindarkan, maka kita patut belajar padanya. Read More..
Merasakan Kebaikan Tuhan Melalui Teman - True Story
Tuhan bisa hadir di mana saja, termasuk melalui teman dan tetangga. Erland Batubara (37) pernah merasakan.
Kupegang pinggulku. Kupijat perlahan. Dengan harapan nyeri yang kurasa hilang. Ah, paling cuma salah tidur atau salah gerak. Bentar lagi juga lenyap, pikirku. Sebentar-sebentar memang sakit itu hilang. Tapi bisa dengan tiba-tiba muncul lagi. Bahkan lebih parah. Tulang belakang seperti dipukul-pukul pakai benda keras. Saking sakitnya kubayangkan tulangku dipukul pakai martil. Aku berusaha menahan sakit. Waktu itu aku tinggal bersama 4 temanku yang mengontrak rumah sederhana. Maka ketika sakit itu, aku berusaha sedapat mungkin tidak membuat repot mereka yang juga hidup pas-pasan. Syukur-syukur dapat tumpangan. Pekerjaan mereka sopir dan kondektur bis. Aku sendiri sudah beberapa bulan nganggur dari pekerjaanku sebagai ‘kondektur layang’ bis PPD. Maksudnya semacam kondektur serep saja. Kalau dibutuhkan, baru diminta kerja.
TAK ADA UANG
Di Jakarta, aku tak punya saudara. Betul-betul merasa sendirian. Seminggu, sakit tulang belakangku makin parah. Ampun sakitnya. Saking nggak tahan lagi, aku menangis meraung-raung.Kesedihanku kian mendalam. Tidak ada uang sedikit pun untuk ke dokter. Kalau menahan lapar sih sudah biasa. Tapi sakit seperti ini, oh… tersiksa sekali. ”Tuhan… Tuhan… tolong aku,” teriakku dalam hati. Kalau teman-temanku serumah ‘diam’ saja, aku tahu betul mereka pun juga sedang tak punya uang. Aku sangat maklum. Karena tak tahan lagi, aku bermaksud keluar rumah. Jalan ke mana saja. Kalau mati di jalan, matilah! Terlintas untuk bunuh diri saja karena sakit yang nggak tertahankan.
Sore itu aku keluar rumah. Pergi tanpa tujuan. Di jalan aku ketemu seorang kenalan marga Panjaitan. Ia melihatku dan langsung mengajak untuk kembali ke rumah. Apalagi waktu dia tahu kepergianku nggak jelas. ”Ayolah …. pulang,” ia sedikit menarikku berbalik arah.
MENDAPAT PERTOLONGAN
Tak lama di rumah. Tiba-tiba berkumpullah lima pria tetangga kami. Salah satunya Bp. Rindu, pemilik rumah kontrakan. Dia asli Palembang, seorang muslim. Mereka bermaksud membawaku ke dokter. Panjaitanlah yang memberitahukan mereka. ”Nggak usah dipikirkan….. Pokoknya berangkat saja” kata salah satu diantara mereka. Oh, Tuhan, ini pertolongan-Mu! Terimakasih ya….. Terbayanglah telah lama tidak pergi ke gereja. Tak pernah berdoa. Aku sudah meninggalkan Tuhan. Bahkan ‘kerjaanku’ ngutip uang judi istilah kami leng atau marbento Seringkali rumah kontrakan menjadi tempat berjudi. Nah, aku ambil Rp 500,- sampai Rp 1.000,- dari yang menang. Istilahnya uang ‘rantang’ yang menjadi hakku. Kupakai uang itu untuk makan atau beli rokok.
”Berangkat sekarang, Bang….” kata mereka membuyarkan lamunanku. Sore itu, aku diantar ke klinik oleh rombongan dengan mobil Bp. Rindu.Dokter menyuntikku. Biaya pengobatan kalau tak salah dengar Rp 40.000,-. Mereka patungan atau saweran untukku. Setelah ke dokter, tulang punggungku berangsur-angsur membaik. Bahkan sampai saat ini tak pernah kambuh.
KEBAIKAN TUHAN MELALUI TEMAN
Namun setengah tahun kemudian aku kembali jatuh sakit. Paru-paru yang menyesakkan dada. Bapak dan ibu Rindu memerhatikanku. Memberiku uang dan sekaleng susu. Mereka menyuruh pembantunya untuk memberiku makan. Peristiwa 10 tahun lalu itu adalah bukti pertolongan Tuhan meskipun kala itu cara hidupku tak berkenan di hadapan-Nya. Tuhan Yesus selalu saja memperlihatkan kasih-Nya. Melalui proses yang panjang dan berliku aku telah kembali ke jalan Tuhan. Dalam segala keterbatasanku aku belajar memerhatikan orang lain. Belajar dari peristiwa-peristiwa yang kualami. Begitu banyak persoalan yang menghimpit. Tapi aku selalu melihat kebaikan Tuhan. Teman-teman yang memberi tumpangan saat aku ngang-gur, sahabatku Panjaitan yang ‘memaksaku’ ke kontrakan supaya aku mendapat pertolongan, tetangga dan bapak ibu Rindu yang peduli padaku. Semua itu bukti cinta-Nya. Read More..
Kupegang pinggulku. Kupijat perlahan. Dengan harapan nyeri yang kurasa hilang. Ah, paling cuma salah tidur atau salah gerak. Bentar lagi juga lenyap, pikirku. Sebentar-sebentar memang sakit itu hilang. Tapi bisa dengan tiba-tiba muncul lagi. Bahkan lebih parah. Tulang belakang seperti dipukul-pukul pakai benda keras. Saking sakitnya kubayangkan tulangku dipukul pakai martil. Aku berusaha menahan sakit. Waktu itu aku tinggal bersama 4 temanku yang mengontrak rumah sederhana. Maka ketika sakit itu, aku berusaha sedapat mungkin tidak membuat repot mereka yang juga hidup pas-pasan. Syukur-syukur dapat tumpangan. Pekerjaan mereka sopir dan kondektur bis. Aku sendiri sudah beberapa bulan nganggur dari pekerjaanku sebagai ‘kondektur layang’ bis PPD. Maksudnya semacam kondektur serep saja. Kalau dibutuhkan, baru diminta kerja.
TAK ADA UANG
Di Jakarta, aku tak punya saudara. Betul-betul merasa sendirian. Seminggu, sakit tulang belakangku makin parah. Ampun sakitnya. Saking nggak tahan lagi, aku menangis meraung-raung.Kesedihanku kian mendalam. Tidak ada uang sedikit pun untuk ke dokter. Kalau menahan lapar sih sudah biasa. Tapi sakit seperti ini, oh… tersiksa sekali. ”Tuhan… Tuhan… tolong aku,” teriakku dalam hati. Kalau teman-temanku serumah ‘diam’ saja, aku tahu betul mereka pun juga sedang tak punya uang. Aku sangat maklum. Karena tak tahan lagi, aku bermaksud keluar rumah. Jalan ke mana saja. Kalau mati di jalan, matilah! Terlintas untuk bunuh diri saja karena sakit yang nggak tertahankan.
Sore itu aku keluar rumah. Pergi tanpa tujuan. Di jalan aku ketemu seorang kenalan marga Panjaitan. Ia melihatku dan langsung mengajak untuk kembali ke rumah. Apalagi waktu dia tahu kepergianku nggak jelas. ”Ayolah …. pulang,” ia sedikit menarikku berbalik arah.
MENDAPAT PERTOLONGAN
Tak lama di rumah. Tiba-tiba berkumpullah lima pria tetangga kami. Salah satunya Bp. Rindu, pemilik rumah kontrakan. Dia asli Palembang, seorang muslim. Mereka bermaksud membawaku ke dokter. Panjaitanlah yang memberitahukan mereka. ”Nggak usah dipikirkan….. Pokoknya berangkat saja” kata salah satu diantara mereka. Oh, Tuhan, ini pertolongan-Mu! Terimakasih ya….. Terbayanglah telah lama tidak pergi ke gereja. Tak pernah berdoa. Aku sudah meninggalkan Tuhan. Bahkan ‘kerjaanku’ ngutip uang judi istilah kami leng atau marbento Seringkali rumah kontrakan menjadi tempat berjudi. Nah, aku ambil Rp 500,- sampai Rp 1.000,- dari yang menang. Istilahnya uang ‘rantang’ yang menjadi hakku. Kupakai uang itu untuk makan atau beli rokok.
”Berangkat sekarang, Bang….” kata mereka membuyarkan lamunanku. Sore itu, aku diantar ke klinik oleh rombongan dengan mobil Bp. Rindu.Dokter menyuntikku. Biaya pengobatan kalau tak salah dengar Rp 40.000,-. Mereka patungan atau saweran untukku. Setelah ke dokter, tulang punggungku berangsur-angsur membaik. Bahkan sampai saat ini tak pernah kambuh.
KEBAIKAN TUHAN MELALUI TEMAN
Namun setengah tahun kemudian aku kembali jatuh sakit. Paru-paru yang menyesakkan dada. Bapak dan ibu Rindu memerhatikanku. Memberiku uang dan sekaleng susu. Mereka menyuruh pembantunya untuk memberiku makan. Peristiwa 10 tahun lalu itu adalah bukti pertolongan Tuhan meskipun kala itu cara hidupku tak berkenan di hadapan-Nya. Tuhan Yesus selalu saja memperlihatkan kasih-Nya. Melalui proses yang panjang dan berliku aku telah kembali ke jalan Tuhan. Dalam segala keterbatasanku aku belajar memerhatikan orang lain. Belajar dari peristiwa-peristiwa yang kualami. Begitu banyak persoalan yang menghimpit. Tapi aku selalu melihat kebaikan Tuhan. Teman-teman yang memberi tumpangan saat aku ngang-gur, sahabatku Panjaitan yang ‘memaksaku’ ke kontrakan supaya aku mendapat pertolongan, tetangga dan bapak ibu Rindu yang peduli padaku. Semua itu bukti cinta-Nya. Read More..
Pertolongan Tuhan Dalam Kesulitan - True Story
Menghitung kebaikan Tuhan memang tidak pernah ada habisnya. Erni Johan (31) pernah merasakannya. Lulus Diploma 1 Akuntansi di Solo, tahun 2001 aku ke Jakarta. Kerja apa sajalah, pikirku. Asal rajin, kerja keras, nggak gengsi, pasti bisa hidup. Begitulah kata orang tentang Jakarta. Tiba di Jakarta, aku langsung ke kost-an kakakku, Catur. Dia melayani di persekutuan doa, di Cipinang dan gereja di Bekasi.
Aku anak ketujuh dari delapan bersaudara. Dari kecil kami terbiasa hidup sederhana. Bapak meninggal selagi kami masih kecil. Ibulah yang banting tulang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Berjualan nasi soto, pecel, sambal goreng, dan beberapa makanan. Aku bisa kuliah atas kebaikan kakakku, Mas Harso. Dialah yang menopang biaya selama satu tahun kuliah.
MENJADI PENJAGA TOKO “Er, ada lowongan jaga toko buku rohani, mau?” tanya Mbak Catur ketika kami ngobrol berdua di kamar. Mendengar info itu aku senang sekali. Karena sudah tiga bulan di Jakarta tanpa pekerjaan. Bosan dan mulai stres.Pada hari yang ditentukan aku datang ke toko buku rohani di Kebon Jeruk, Jakarta Barat untuk wawancara. Gaji yang ditawarkan Rp350 ribu. Dalam hatiku berapa sajalah yang penting dapat pekerjaan. Aku setuju. Tiga hari kemudian mulai kerja.
Terima kasih Tuhan, doaku dikabulkan. Sepanjang perjalanan pulang, aku mulai menghitung-hitung pengeluaran sebulan. Kalau pulang pergi dari kost Mbak Catur, selain jauhnya nggak kira-kira, gajiku habis untuk ongkos. Kost? Aku dengar di Kebon Jeruk tak kurang dari Rp250 ribu. Lalu dari mana aku makan?
DITOLONG TEMAN
Hari pertama kerja, aku bertemu dengan Ci Lily. Pekerja gereja yang juga akan bersamaku mengelola toko buku itu. “Erni, mau tinggal sama aku?” tanya Ci Lily membuyarkan lamunanku. Ku-pandang wajah Ci Lily yang tersenyum padaku. Ia sedang tidak basa-basi. “Nggakngerepotin, Ci?” tanyaku meyakinkan tawarannya. “Nggak Erni, ngerepotin apa? Sudahlah, nggak usah kamu pikirin. Kita bisa sama-sama,” katanya. Kuucapkan terima kasih padanya.
Dua bulan aku menumpang di rumah Ci Lily. Semakin mengenalnya, aku melihat ketulusan hatinya. Ia baik pada setiap orang. Aku ingin mandiri, nggak enak terus-terusan numpang. Tapi kalau kost, uangku tak cukup. Aku tetap berdoa menyampaikan kerinduanku pada Tuhan. Tak lama, aku berkenalan dengan Erni Claudia, bekerja di gereja. Dia menawarkan kost yang sangat murah hanya Rp75 ribu saja. Aku menempati kamar seharga Rp250 ribu. Puji Tuhan!
Selalu saja ada pertolongan, itu yang aku rasakan ketika kesulitan datang. Begitu juga dengan keperluan sehari-hari, aku mencoba mencukupkan diri dengan apa yang ada. Mengucap syukur dalam segala perkara. Kalau dirasa uang kurang, aku belajar untuk tidak berpikir ngutang.
KEBAIKAN TUHAN
Oleh gereja aku dipindah ke pelayanan orang tua asuh, namanya Kota Daud. Memberi bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Salah satu pengurusnya Ibu Meijanti Wijaja, aku memanggilnya Ci Mei.“Er, sini…”, kata Ci Mei satu siang. Aku datang mendekat. Wah… jangan-jangan aku melakukan kesalahan. Kuterka-terka dan kuingat apa yang kulakukan di waktu lalu.
“Ini ada berkat untukmu, semoga pas dan kamu senang….” Ci Mei mengulurkan tas. Aku masih terdiam. “Pakaian…” kupandang wajah Ci Mei, kuterima tas itu dan mengucapkan terima kasih padanya. Air mataku jatuh ketika mencoba satu per satu lima potong pakaian itu. Selama ini mana terpikir membeli pakaian. Bisa makan tiap hari saja sudah sangat bersyukur.
Kebaikan Ci Mei tidak hanya itu saja. Setiap kali dia pergi ke luar kota atau ke luar negeri selalu membawa oleh-oleh untukku dan beberapa teman pelayanan. Aku terharu dengan perhatiannya, sempat-sempatnya orang sesibuk dia masih mikirin oleh-oleh untuk kami. Satu kali Ci Mei memberiku kalung. Kali lain, ia memberi cincin emas. Dan setiap ulang tahun, dia selalu memerhatikanku.
Tuhan juga mengirimkan kebaikannya melalui Bu Hartati, salah satu jemaat gereja yang memberiku amplop berisi Rp100 ribu per bulan selama setahun. Padahal waktu itu Bu Hartati dalam keadaan susah. Suaminya telah dipanggil Tuhan saat usaha yang dijalankannya bangkrut sehingga Bu Hartati harus berurusan dengan banyak pihak. Aku tak dapat menghitung kebaikan Tuhan yang memeliharaku di waktu lalu, kini, dan selamanya. Read More..
Aku anak ketujuh dari delapan bersaudara. Dari kecil kami terbiasa hidup sederhana. Bapak meninggal selagi kami masih kecil. Ibulah yang banting tulang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Berjualan nasi soto, pecel, sambal goreng, dan beberapa makanan. Aku bisa kuliah atas kebaikan kakakku, Mas Harso. Dialah yang menopang biaya selama satu tahun kuliah.
MENJADI PENJAGA TOKO “Er, ada lowongan jaga toko buku rohani, mau?” tanya Mbak Catur ketika kami ngobrol berdua di kamar. Mendengar info itu aku senang sekali. Karena sudah tiga bulan di Jakarta tanpa pekerjaan. Bosan dan mulai stres.Pada hari yang ditentukan aku datang ke toko buku rohani di Kebon Jeruk, Jakarta Barat untuk wawancara. Gaji yang ditawarkan Rp350 ribu. Dalam hatiku berapa sajalah yang penting dapat pekerjaan. Aku setuju. Tiga hari kemudian mulai kerja.
Terima kasih Tuhan, doaku dikabulkan. Sepanjang perjalanan pulang, aku mulai menghitung-hitung pengeluaran sebulan. Kalau pulang pergi dari kost Mbak Catur, selain jauhnya nggak kira-kira, gajiku habis untuk ongkos. Kost? Aku dengar di Kebon Jeruk tak kurang dari Rp250 ribu. Lalu dari mana aku makan?
DITOLONG TEMAN
Hari pertama kerja, aku bertemu dengan Ci Lily. Pekerja gereja yang juga akan bersamaku mengelola toko buku itu. “Erni, mau tinggal sama aku?” tanya Ci Lily membuyarkan lamunanku. Ku-pandang wajah Ci Lily yang tersenyum padaku. Ia sedang tidak basa-basi. “Nggakngerepotin, Ci?” tanyaku meyakinkan tawarannya. “Nggak Erni, ngerepotin apa? Sudahlah, nggak usah kamu pikirin. Kita bisa sama-sama,” katanya. Kuucapkan terima kasih padanya.
Dua bulan aku menumpang di rumah Ci Lily. Semakin mengenalnya, aku melihat ketulusan hatinya. Ia baik pada setiap orang. Aku ingin mandiri, nggak enak terus-terusan numpang. Tapi kalau kost, uangku tak cukup. Aku tetap berdoa menyampaikan kerinduanku pada Tuhan. Tak lama, aku berkenalan dengan Erni Claudia, bekerja di gereja. Dia menawarkan kost yang sangat murah hanya Rp75 ribu saja. Aku menempati kamar seharga Rp250 ribu. Puji Tuhan!
Selalu saja ada pertolongan, itu yang aku rasakan ketika kesulitan datang. Begitu juga dengan keperluan sehari-hari, aku mencoba mencukupkan diri dengan apa yang ada. Mengucap syukur dalam segala perkara. Kalau dirasa uang kurang, aku belajar untuk tidak berpikir ngutang.
KEBAIKAN TUHAN
Oleh gereja aku dipindah ke pelayanan orang tua asuh, namanya Kota Daud. Memberi bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Salah satu pengurusnya Ibu Meijanti Wijaja, aku memanggilnya Ci Mei.“Er, sini…”, kata Ci Mei satu siang. Aku datang mendekat. Wah… jangan-jangan aku melakukan kesalahan. Kuterka-terka dan kuingat apa yang kulakukan di waktu lalu.
“Ini ada berkat untukmu, semoga pas dan kamu senang….” Ci Mei mengulurkan tas. Aku masih terdiam. “Pakaian…” kupandang wajah Ci Mei, kuterima tas itu dan mengucapkan terima kasih padanya. Air mataku jatuh ketika mencoba satu per satu lima potong pakaian itu. Selama ini mana terpikir membeli pakaian. Bisa makan tiap hari saja sudah sangat bersyukur.
Kebaikan Ci Mei tidak hanya itu saja. Setiap kali dia pergi ke luar kota atau ke luar negeri selalu membawa oleh-oleh untukku dan beberapa teman pelayanan. Aku terharu dengan perhatiannya, sempat-sempatnya orang sesibuk dia masih mikirin oleh-oleh untuk kami. Satu kali Ci Mei memberiku kalung. Kali lain, ia memberi cincin emas. Dan setiap ulang tahun, dia selalu memerhatikanku.
Tuhan juga mengirimkan kebaikannya melalui Bu Hartati, salah satu jemaat gereja yang memberiku amplop berisi Rp100 ribu per bulan selama setahun. Padahal waktu itu Bu Hartati dalam keadaan susah. Suaminya telah dipanggil Tuhan saat usaha yang dijalankannya bangkrut sehingga Bu Hartati harus berurusan dengan banyak pihak. Aku tak dapat menghitung kebaikan Tuhan yang memeliharaku di waktu lalu, kini, dan selamanya. Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)